TEKNOLOGI BATERAI DALAM TRANSISI ENERGI

Oleh: Eko Sulistyo, Komisaris PT PLN (Persero).
Baterai dan penyimpanan energi akan menjadi teknologi kunci dalam transisi energi untuk membawa dunia keluar dari krisis iklim. Di hampir setiap skenario global, tindakan mencegah perubahan iklim yang tak terkendali, disepakati listrik bebas karbon menggantikan bahan bakar fosil untuk menjalankan ekonomi. Mobilitas, pemanasan, dan bahkan proses industri, akan digerakkan oleh listrik dari energi terbarukan seperti angin, matahari, dan lain-lain.
Saat ini baterai sudah ada di ponsel kita, laptop dan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Tetapi pertumbuhan pasar EV dan penyimpanan listrik stasioner, menjadikan inovasi teknologi baterai prospektif di masa depan. Bahkan berbagai lembaga internasional seperti Forum Ekonomi Dunia (WEF), Badan Energi Internasional (IEA), Badan Internasional untuk Energi Terbarukan (IRENA), telah menyatakan, teknologi baterai dapat mengubah transportasi dan produksi energi.
Baterai yang terhubung ke jaringan listrik memungkinkan pasokan energi terbarukan lebih stabil. Sifat energi terbarukan seperti angin dan matahari yang terputus-putus (intermittent), dapat disimpan dalam baterai dan dipompa kembali ke jaringan listrik saat dibutuhkan. Ekspansi listrik dalam penyediaan energi ini memiliki peran kunci dalam transisi energi bersih, karena dihasilkan dari sumber terbarukan dan tidak menghasilkan emisi.
Dengan potensi energi terbarukan sebesar 3.686 gigawatt (GW), terlepas dari pemanfaatannya yang masih minim, Indonesia memiliki peluang menjalankan transisi energi dan mendapatkan keuntungan ekonomi. Utamanya dari meningkatnya produksi dan penggunaan baterai. Dimana bahan mineral untuk pembuatan baterai, seperti ion lithium, nikel, mangan dan kobalt, cukup berlimpah di bumi Indonesia.
Dominasi Tiongkok
Saat ini, baterai yang paling umum digunakan di kendaraan atau sistem penyimpanan energi stasioner didasarkan pada teknologi lithium-ion. Baterai lithium-ion pertama kali muncul secara komersial pada awal 1990-an, sekarang menjadi pilihan utama untuk memberi daya pada segala peralatan elektronik, mulai ponsel hingga EV. Permintaan baterai ini diperkirakan bisa mencapai 9.300 gigawatt-jam (GWh) pada akhir dekade ini (Statista, 2021).
Permintaan baterai lithium-ion untuk menggerakkan EV dan penyimpanan energi mengalami pertumbuhan eksponensial. Menurut data lembaga riset energi BloombergNEF (BNEF, 2021), peningkatan itu dari hanya 0,5 GWh pada 2010 menjadi sekitar 526 GWh satu dekade kemudian. Permintaan diproyeksikan meningkat 17 kali lipat pada 2030.
Dari sisi harga, biaya rata-rata sel baterai lithium-ion telah turun sebesar 82% sejak 2012. Pada 2023, biaya rata-rata sel baterai lithium-ion akan turun di bawah US $ 100 per kilowatt-jam (kWh) menjadi US $ 73 per kWh pada 2030. Bahkan menurut para analis di BloombergNEF, biaya baterai bisa turun sampai US $ 61 per kWh.
Kini Tiongkok adalah raksasa baterai yang diperkirakan akan terus mendominasi rantai pasokan baterai lithium-ion global sampai 2026. Itu bisa terjadi berkat investasi yang berkelanjutan, juga permintaan lokal dan global dengan angka signifikan. Tiongkok memproses 80% kapasitas produksi sel baterai kebutuhan global saat ini.
Dengan kapasitas yang terus meningkat, ditargetkan pada 2026 kapasitasnya akan mencapai hingga dua terawatt (TW), cukup untuk memasok 20 juta EV. Dalam kurun waktu yang sama, Amerika Serikat (AS) berada di peringkat dua, di bawah Tiongkok. AS memiliki pasar EV terbesar kedua secara global, setelah Tiongkok.
Negara-negara Eropa juga naik peringkat dalam rantai pasokan baterai lithium-ion, sejalan dengan tumbuhnya pasar EV. Rumpun negara Skandinavia semakin penting bagi Eropa dalam upaya pasokan listrik rendah karbon. Finlandia akan segera menjadi rumah bagi salah satu manufaktur terbesar di dunia untuk nikel dan kobalt sulfat, keduanya adalah bahan utama untuk baterai EV.
Eropa telah menetapkan tujuan ambisius untuk memasok semua permintaan baterainya secara mandiri pada 2025. Lewat Green New Deal, Eropa telah berkomitmen untuk investasi hijau miliaran euro guna mengamankan rantai pasokan baterai. Prospeknya cukup cerah, mengingat permintaan baterai di Eropa adalah yang kedua setelah Tiongkok.
Kompetitor Tiongkok sebelumnya, menurut laporan Innovation in Batteries and Electricity Storage, (IEA, 2020), adalah Korea Selatan dan Jepang. Namun mulai 2021, peringkat keduanya sedikit turun. Jepang telah berada di jalur tren naik peringkat ketiga pada 2026, sehubungan permintaan domestik yang meningkat bersamaan investasi lanjutan dalam pemurnian bahan dan produksi komponen.
Kendalanya ada pada aspek lingkungan, sehingga gerak laju produksi bateri yang dihasilkan Jepang dan Korea Selatan sedikit terhambat. Intensitas karbon mereka dianggap masih tinggi dari jaringan listriknya. Ini semacam sinyal, dalam pasokan baterai lithium-ion, pabrikan EV memiliki standar yang tinggi dalam jejak karbon sel baterai.
Harga Kompetitif
Tiongkok menjadi negara tunggal terbesar untuk investasi transisi energi, dengan komitmen US $ 266 miliar pada 2021. AS di tempat kedua dengan US $ 114 miliar, sementara negara-negara Uni Eropa berkomitmen lebih dari US $ 154 miliar. Adapun negara-negara Asia-Pasifik memegang empat dari sepuluh tempat teratas dalam hal investasi, yaitu India dan Korea Selatan, bergabung dengan kekuatan Tiongkok dan Jepang.
Menurut Energy Transition Investment Trends 2022, investasi global dalam transisi energi pada 2021 telah mencapai US $ 755 miliar, sebuah capaian luar biasa. Tingginya angka investasi berkat dukungan kebijakan masing-masing negara dalam program perubahan iklim sesuai Kesepakatan Paris 2015. Investasi meningkat di hampir setiap sektor, termasuk energi terbarukan, penyimpanan energi, transportasi listrik, hidrogen, dan bahan berkelanjutan.
Bagi Indonesia, jumlah angka investasi ini perlu diketahui, namun yang lebih penting lagi adalah aspek kualitatifnya. Investasi yang besar pada akhirnya menjadikan harga bateri lithium-ion menjadi turun, dan berdampak positif bagi harga EV yang makin terjangkau. Dalam hal investasi transisi energi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah menyampaikan. Indonesia membutuhkan dana lebih Rp 300 triliun, salah satunya tentu untuk investasi industri baterai.
Kini di tengah agenda percepatan transisi energi, Indonesia telah masuk dalam arus besar perubahan global tersebut. Bahkan di bawah Kepresidenan Indonesia tahun ini, kelompok negara-negara 20 (G-20), akan membahas transisi energi sebagai salah satu agenda utama, selain arsitektur kesehatan global dan digitalisasi ekonomi, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada Oktober mendatang di Bali.
Sebagai Presidensi G-20, Indonesia harus mampu mewakili negara berkembang menunjukkan kepemimpinan global dalam transisi energi. Transisi energi adalah agenda besar yang membutuhkan kerjasama internasional membangun kolaborasi global untuk investasi ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Dalam KTT G-20 mendatang, diharapkan Indonesia dapat mengongkritkan percepatan transisi energi yang adil dengan memudahkan akses teknologi dan pendanaan transisi energi bagi negara-negara berkembang